Menjadi Kartini Millenial tanpa Melupakan Fitrah
21 April diperingati oleh para perempuan Indonesia sebagai hari Kartini, yaitu tanggal lahirnya seorang perempuan bernama lengkap Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat. Hal itu sesuai dengan ketetapan Presiden RI, Ir. Soekarno, melalui surat No.108 Tahun 1964 tertanggal 2 Mei 1964 yang menetapkan R. A. Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Di surat yang sama, Soekarno juga menetapkan peringatan Hari Kartini sebagai hari besar Nasional yang jatuh pada tanggal 21 April setiap tahunnya.
Hari Kartini banyak diperingati dengan penggunaan pakaian daerah, padahal makna hari Kartini jauh dari sekedar penggunaan pakaian daerah. R. A. Kartini adalah pahlawan yang menaikan derajat perempuan di kala itu saat kaum perempuan dipandang sebelah mata. Dengan pemikiran-pemikirannya yang membuat para perempuan masa kini mampu mengenyam pendidikan hingga memiliki kedudukan yang sama dengan para lelaki.
Namun, emansipasi yang digadang-gadang mengangkat derajat kaum perempuan tersebut tanpa sadar telah menempatkan sebagian mereka jauh dari fitrahnya. Tak sedikit kaum perempuan yang meninggalkan rumah untuk ikut mencari nafkah dan bahkan menggantikan peran para lelaki. Sehingga muncul pandangan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki tempat yang setara.
Pandangan seperti itulah yang telah menyimpang dari cita-cita Kartini. Perjuangan Kartini pada masanya adalah untuk menghilangkan stigma negatif terhadap kaum perempuan, bukan untuk menjadi lebih tinggi derajatnya dibandingkan kaum laki-laki.
Seperti yang tercantum dalam potongan ayat dari surat An-Nisa ayat 34 yang artinya "kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan" , tersirat bahwa kaum perempuan dan laki-laki diciptakan untuk saling melengkapi dengan porsinya masing-masing, bukan untuk saling merendahkan.
Jika pada Abad ke-19 R.A Kartini membela kaum perempuan dengan pemikiran-pemikiran yang out of the box pada masanya, lalu bagaimana dengan kaum perempuan di era millenial? Ya, Untuk menjadi 'Kartini Millenial', jadilah perempuan berdaya yang bukan hanya bermanja tapi mampu berkarya dengan tetap pada posisinya di dalam keluarga dan melibatkan adab dalam setiap karyanya. Bagaimana jadinya jika seorang perempuan (baca: ibu) menjalankan tugasnya sebagai pencipta peradaban sedangkan ia melangkah tanpa adab?
Wallahu'alam
Komentar
Posting Komentar