[CERPEN] AKU TERTINGGAL JAUH DARIMU



***
Doa shalat jenazah dilantunkan dengan nyaring oleh imam pada shalat jenazah di siang hari itu. Aku dan beberapa orang yang berbaris membuat beberapa shaf pun mengikuti lantunan doa dan gerakan shalat jenazah. Setelah selesai memberikan penghormatan terakhir, 6 orang pria bertubuh tinggi mengangkat tandu jenazah dan diikuti oleh pria2 yang tadi berjajar rapi dalam shaf shalat.
"Nggak ikut ke makam?" tanya seorang wanita yang masih mengenakan mukena berwarna putih yang wajahnya kukenal, tapi entah siapa dia, aku hanya mengenal wajahnya tanpa tau namanya. "Nggak" jawabku singkat. Terlihat ada beberapa orang, yang lagi2 kukenal wajahnya tapi aku tak tau siapa mereka, dengan wajah penuh kesedihan dengan hidung dan mata memerah karena air mata.

Kulihat beberapa baris orang mengantarkan tandu jenazah menuju ke pemakaman. Tatapanku tertuju pada tandu itu sampai benda itu menghilang dari tatapanku. Tak terasa bulir bening jatuh dari pelupuk mataku. Aku menangis? Tangisan apa ini? Apakah ini kesedihan atas meninggalnya orang yang mereka sebut sebagai "ayahku"? Jika memang iya, kenapa aku harus bersedih jika memang dia tidak pernah benar-benar hadir dalam kehidupanku; apalagi sebagai seorang ayah.

***

Bayangan tentang hari dimana ayahku meninggal itu kembali datang setelah anak perempuanku menanyakan hal tentangnya.
"Mah, Ayahnya mama udah meninggal?"
"Iya sayang" jawabku.
Untung kakeknya udah meninggal, jadi aku nggak perlu repot-repot menjelaskan tentangnya pada anakku, batinku.
"Meninggalnya waktu mama masih kecil?" Lagi-lagi dia bertanya sambil duduk di atas kursi dengan meja belajar di hadapannya. Sambil membolak balik buku cerita yang berjudul AKU SAYANG KAKEK dia belum berhenti bertanya. Memang anakku sedang masanya banyak bertanya tentang hal-hal di sekitarnya. Anak perempuan berusia 7tahun itu tampaknya masih penasaran dengan kakek dari ibunya. "Iya sayang" jawabku sambil berharap tidak ada lagi pertanyaan tentangnya. Kurasa, anakku belum cukup dewasa untuk mengerti apa yang kualamai di masa kecilku.
"Namanya siapa?" tanyanya lagi.
Aku gugup, bahkan untuk menyebutkan namanya saja, sepertinya aku tak sanggup. Terlalu dalam rasa sakitku ini jika mengingat hal-hal tentangnya, walau hanya sekedar menyebut namanya.
"Mama lupa, nanti kalau mama ingat, mama kasih tau kamu ya. Oiya, Nana udah packing baju buat ke rumah kakek belum? Packing dulu sana, biar nanti kalau papa pulang kita udah siap" aku mencoba mengalihkan pembicaraan.

Nana masih terlalu kecil untuk mengerti bahwa aku tumbuh di keluarga broken home. Ibu dan ayahku menikah dengan status janda dan duda. Ibuku janda dengan tiga anak, dan ayahku duda dengan, persisnya aku tidak tahu berapa jumlah kakak se-ayahku itu.

Enam bulan setelah kelahiranku, ayah dan ibuku bercerai. Aku tinggal bersama ibu dan ketiga kakak se-ibuku. Rumahku tak jauh dari rumah ayahku.

Ayahku seorang ustadz dan aku mengaji di mesjid belakang rumah ayahku. Hampir setiap hari kami bertemu tapi tidak ada interaksi sama sekali. Tidak pernah ada sapaan apalagi rangkulan sebagaimana seorang ayah pada anaknya. Hanya ada air mata yang selalu kusembunyikan setiap kali setelah berpapasan dengan orang itu. Rasa sakit hati karena ayahku sendiri tak mengenalku, benci, menyesali takdirku, semua bercampur jadi satu.

Hingga pada suatu hari aku berencana menikah, aku dan calon suamiku mendatangi rumahnya untuk memintanya menjadi wali nikahku. Mungkin itulah satu-satunya hal yang pernah dia lakukan untukku; menikahkanku.

Sebagai anak yang tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah, ada sedikit rasa tak rela kenapa nama ayah yang ditulis dalam ijazah. Padahal jangankan untuk membiayai pendidikanku, mengenalkupun tidak. Jika saja rumah kami berjauhan dan kami tidak sering bertemu, mungkin rasa sakitnya tidak akan sebesar ini.

Hingga pada suatu hari aku sedang mengajar privat di rumah seorang kerabat yang kenal baik dengan keluargaku maupun keluarga ayahku. Dia yang memberi kabar tentang kematian ayahku.
"Dinda, untuk hari ini sudah cukup sampai disini saja. Pulanglah! Bapakmu meninggal". Melihat reaksiku yang biasa saja dia berkata "Sudahlah, bagaimanapun juga dia ayahmu, pulanglah. Ibu juga mau kesana. Kita ketemu di masjid belakang rumah bapak. Katanya bapak akan disholatkan disana".

Aku pulang dengan mengendarai sepeda motorku, membawanya pelan sambil menahan tangis. Air mataku tak bisa kutahan untuk tak keluar. Tak tahu kenapa rasa sakit ini semakin menjadi. Aku benar-benar tak memiliki kesempatan untuk merasakan kasih sayang seorang ayah.

Setibanya di masjid tempat ayahku disholatkan, doa shalat jenazah dilantunkan dengan nyaring oleh imam pada shalat jenazah di siang hari itu. Aku dan beberapa orang yang berbaris membuat beberapa shaf pun mengikuti lantunan doa dan gerakan shalat jenazah. Setelah selesai memberikan penghormatan terakhir, 6 orang pria bertubuh tinggi mengangkat tandu jenazah dan diikuti oleh pria2 yang tadi berjajar rapi dalam shaf shalat.
"Nggak ikut ke makam?" tanya seorang wanita yang masih mengenakan mukena berawana putih yang wajahnya kukenal, tapi entah siapa dia, aku hanya mengenal wajahnya tanpa tau namanya. "Nggak" jawabku singkat. Terlihat ada beberapa orang, yang lagi2 kukenal wajahnya tapi aku tak tau siapa mereka, dengan wajah penuh kesedihan dengan hidung dan mata memerah karena air mata. Aku tidak mengenal mereka padahal mereka adalah keluarga dekat ayahku bahkan diantara mereka ada kakak-kakakku yang memang aku tak mengenal mereka satu per satu.

Kulihat beberapa baris orang mengantarkan tandu jenazah menuju ke pemakaman. Tatapanku tertuju pada tandu itu sampai benda itu menghilang dari tatapanku. Tak terasa bulir bening jatuh dari pelupuk mataku. Aku menangis? Tangisan apa ini? Apakah ini kesedihan atas meninggalnya orang yang mereka sebut sebagai "ayahku"? Jika memang iya, kenapa aku harus bersedih jika memang dia tidak pernah benar-benar hadir dalam kehidupanku; apalagi sebagai seorang ayah.

Dan sekarang aku tahu, ini bukan tangisan atas kepergiannya. Ini tangisan atas takdirku yang tak pernah bisa merasakan belaian seorang ayah, pelukan hangat seorang ayah, cinta kasih seorang ayah. Yang aku tangisi adalah sampai meninggalpun dia tak pernah berperan sebagai ayah dalam kehidupanku. Yang aku tangisi adalah pepatah yang katanya seorang ayah adalah cinta pertama bagi anak gadisnya, sedangkan aku tidak pernah merasakannya.

Suara pintu terbuka seketika membuyarkan lamunanku.
"Yeeeeaaayyy papa pulang" teriak Nana anakku yang berlari menuju pelukan ayahnya sambil tersenyum dan dibalas dengan ciuman hangat ayahnya.

Air mataku kembali menetes menyaksikan pemandangan seperti itu dan berkata dalam hati "Ayah, dengarkanlah! Aku anakmu yang tak pernah kau perlakukan sama dengan anak-anakmu yang lain. Ada sebuah kutipan yang berbunyi 'Family means nobody is left behind' itu berarti kita bukanlah keluarga karena aku tertinggal jauh darimu".

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memilih PAUD Insan Madani : Pengalaman Pendidikan Yang Berkualitas

Menemukan Semangat Baru di Temu Pendidik Nusantara XI

"Cerita Sebelum Bercerai", Sebuah Catatan Romantis Seorang Suami (Book Review)